Defining Our Self-Worth Apart From Social Media (Bahasa)

Alya Aqibta
4 min readJan 9, 2023
Photo by Jodie Cook on Unsplash

Tadi malam aku gak bisa tidur, kemudian iseng nonton podcast Pak Gita Wirjawan yang mengundang Dr. Fahruddin Faiz, seorang filsuf dan dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berharapnya bisa ngantuk, tapi malah terserap dengan pembahasannya hingga selesai. Sekitar 30 menitan masuk, aku langsung menjadikan episode ini salah satu favoritku dari podcast Endgame.

Ada banyak poin-poin menarik dan sangat insightful selama diskusi mereka, tetapi ada salah satu yang ingin aku bahas, yaitu tentang dunia virtual. Kebetulan akhir-akhir ini aku juga lagi tertarik dengan pembahasan seputar teknologi dunia maya. Kesimpulan yang bisa aku tangkap yaitu Pak Faiz dan Pak Gita sepakat bahwa mereka khawatir akan masa depan generasi selanjutnya yang fokus utama kehidupannya adalah dunia virtual bukannya realita di dunia nyata.

Aku udah sering banget dengar orang-orang dewasa atau ya ‘generasi atas’ yang membicarakan teknologi sekarang yang melahirkan media sosial sebagai suatu ‘ancaman’ untuk peradaban. Mulai dari keluarga sekitar hingga tokoh-tokoh dan pemimpin terkemuka yang penuh ilmu seperti Pak Faiz dan Pak Gita. Dan menurut aku itu sesuatu yang menarik, karena berbeda sekali dengan pemikiran generasi kita atau Gen Z dan mungkin beberapa Gen Milenial.

Sebelumnya aku juga ada nonton Ted Talk yang membahas dua perspektif berbeda ini, narasumbernya mengistilahkan ‘digital native’ sebagai generasi kita yang sudah lahir dan tumbuh besar bersama dunia digital. Kita udah tau seluk beluk internet dan media sosial bahkan tanpa diajari dahulu dan ‘digital immigrant’ sebagai generasi atas yang tumbuh dan berkembang tanpa internet, tetapi mereka harus beradaptasi dengan perkembangan zaman, jadilah mereka sebagai seorang imigran yang mengadopsi teknologi di kehidupan mereka.

Digital immigrants memiliki pandangan bahwa internet ini adalah suatu ‘ancaman’ karena mendistraksi masyarakat dari dunia sekelilingnya, sedangkan generasi kita atau digital natives memandang internet ini adalah suatu kesempatan. Menurutku, kedua pendapat ini ada benarnya dan tidak ada yang sepenuhnya salah atau benar.

Sebagai digital natives pastinya aku juga menganggap internet dan media sosial sebagai kesempatan: membantu pengembangan diri, sumber pengetahuan, alat untuk meningkatkan finansial, sarana ekspresi diri, dan medium berinteraksi dengan dunia luar. Semuanya tanpa harus bergerak secara fisik. Isn’t that a good thing by saving our cost, energy, and time?

Tapi tentu aja semua hal ada sisi negatifnya, termasuk internet. Selama ini aku menganggap diriku udah mampu dan bijaksana mengkurasi penggunaan internet. Aku merasa aku cukup pandai memilah-milah sikapku terhadap dunia virtual ini.

Oke, back to the title. Pembicaraan di podcast ini mengingatkan aku kalau ternyata aku juga masih belum sebijaksana itu untuk menggunakan media sosial. Ada beberapa pertanyaan yang muncul di kepala aku ketika nonton.

Kira-kira selama ini aku ada gak ya kegiatan penghabisan waktu tanpa ada keterlibatan internet?

Diri aku ini siapa ya kalau gak ada hubungannya dengan eksistensi aku di media sosial?

Aku punya keahlian apa yang gak ada sangkut pautnya dengan internet, media sosial, atau teknologi?

And those questions hit me hard.

Pertanyaan pertama, oke mungkin ada satu aktivitas yang aku sukai selain menghabiskan waktu di internet, yaitu baca buku. Tapi dari sekian banyak aktivitas lain, hampir semuanya berhubungan sama internet. Dan aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di internet daripada baca buku.

Pertanyaan kedua, aku kesulitan mendeskripsikan siapa aku tanpa ada hubungannya dengan akun media sosialku. Kebanyakan dari kita mempunyai ‘pandangan’ siapa seseorang berdasarkan kehadiran mereka di Instagram, Twitter, atau TikTok. Dia anak yang aesthetic, dia anak yang cuek kalau di-chat, dia influencer yang inspiratif karena kontennya di Instagram, dia anak yang alay karena postingannya di WhatsApp Status.

Kita udah tidak lagi mengenal seseorang berdasarkan siapa mereka sebenarnya. Bagaimana mereka berbicara, bertingkah laku, dan berinteraksi dengan kita di dunia nyata tanpa membawa akun media sosial mereka. Padahal akun media sosial adalah ‘persona’ yang kita bangun. Bagaimana kita mau dipandang oleh orang lain dan bukannya siapa diri kita yang sesungguhnya.

Kemudian pertanyaan ketiga, sepertinya aku ingin membangun suatu keahlian baru atau aktivitas baru yang menyenangkan yang tidak melibatkan internet. Mungkin menggambar, bermain alat musik, menyulam, memasak, doing sport, joining community, atau hal lainnya. Be more present in the reality world, interacting with the real world, and spending my time and energy on something physical. That I can touch and smell alongside see.

Banyak dari kita yang juga menggantung self-worth dengan eksistensi di media sosial. Pokoknya Instagram-ku harus aesthetic biar dianggap keren, typing-ku gak boleh alay, postinganku harus terlihat misterius biar pada penasaran. Aku gak bilang aku bukan itu semua. Aku juga gak terlepas dari pemikiran itu. Karena mau bagaimanapun, di zaman sekarang, esksitensi di media sosial merupakan sesuatu yang penting.

Tapi terkadang kita jadi berlebihan. Kita merasa rendah diri kalau jumlah seen di Instagram Story kita kecil atau likes foto di first acc kita sedikit. Kita mengikatkan hal-hal numeratif tadi dengan rasa keberhargaan diri.

Jadi mungkin ada benarnya juga kekhawatiran generasi di atas kita akan ancaman dunia maya. Di mana tidak ada saringan informasi atau konten yang kita dapatkan di internet. Butuh suatu kebijaksanaan pribadi dan bantuan pemimpin yang punya kuasa untuk mengubah arah kemana teknologi akan membawa kita.

Seperti Pak Fahruddin Faiz yang menyebutkan ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dunia maya secara komunitas besar yaitu dengan menyaingi konten-konten yang ‘dangkal’ dengan konten-konten edukatif dan positif dan membererikan aktivitas yang sama asyiknya dengan media sosial di dunia fisik.

Karena mau tidak mau corak peradaban saat ini memang berhubungan besar dengan dunia maya. Jadi sudah tidak mungkin lagi untuk menghentikan, yang dapat dilakukan adalah mengalihkan dengan memberikan konten positif dan mengendalikan penggunaannya.

Oke, that’s it my rambling about virtual worth. I suggest you guys to listen the original podcast. It will give you many many insightful perspectives.

--

--

Alya Aqibta

avid fantasy reader and currently studying psychology.