Apa itu normal? (Review Novel Gadis Minimarket)

Alya Aqibta
4 min readJul 29, 2022
Pic Source: ebook.gramedia.com

Pertanyaan dari judul artikel ini adalah yang menghantui Keiko Furukara sepanjang hidupnya dalam buku ‘Convenience Store Woman’ atau ‘Gadis Minimarket’ yang ditulis Sayaka Murata, seorang penulis dari Jepang.

Kali ini aku mau mengulas suatu buku dalam bahasa indonesia.

Gadis Minimarket merupakan novel ringan yang memiliki pembahasan yang cukup mendalam. Novel ini bercerita tentang seorang wanita berumur 36 tahun yang bekerja di sebuah minimarket selama 18 tahun. Ia tidak menikah ataupun memiliki pasangan romantis, hidup sendirian di sebuah apartemen kecil, dan tidak memiliki tujuan tetap dalam hidupnya.

Novel ini walaupun singkat tapi membahas isu yang menarik, yaitu bagaimana sebuah masyarakat memandang sesuatu itu normal atau tidak. Masyarakat yang memiliki konfirmitas tinggi menolak orang-orang dengan perilaku ‘berbeda’ dan ‘asing’ dari standar sosial yang selama ini kita tanamkan di kepala.

Aku akan membuat ulasan dari Gadis Minimarket dalam beberapa poin di bawah ini. Dari poin-poin ini, semoga yang melihat juga tertarik untuk membaca buku ini.

Karakter yang unik

Keiko memiliki set pemikiran dan kepribadian yang berbeda dari kebanyakan orang. Kalau ditelik lebih jauh, atau dilihat dari perspektif psikologi, bisa jadi Keiko ini terlahir dengan sebuah spektrum atau seorang neurodivergen. Tapi dari kepribadiannya yang berbeda ini, kita bisa merenungkan banyak hal.

Keiko sedari kecil memperlihatkan perilaku yang dipandang aneh oleh orang-orang di sekelilingnya. Keluarganya mendorongnya untuk ikut konseling agar ‘sembuh’, tapi Keiko merasa semua itu sia-sia. Dia sendiri pun tidak tau ‘sembuh’ itu seperti apa. Keiko seseorang yang ‘kebas’. Ia tidak pernah benar-benar merasa marah, kesal, sedih, atau pun bahagia.

Dari situ, Keiko mencoba mengikuti dan memimikkan perilaku orang sekitarnya. Seperti bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka merasa senang ketika Keiko setuju atas perkataan mereka, dan bagaimana mereka berdandan. Keiko sadar, hal tersebut memberikan perasaan lega dan senang dari keluarga dan teman-temannya.

Keiko merasa semua orang sudah memiliki panduan kehidupan yang tidak tertulis tetapi sudah tertanam di pikiran masing-masing. Keiko merasa bingung, karena dia tidak tau panduan itu. Dia berharap orang mau memberitahunya, namun semua orang mengharapkan Keiko sudah seharusnya memahami itu.

Karena hal tersebut, Keiko juga senang bekerja di minimarket karena di sana ada sebuah panduan tetap. Apa yang harus dipesan, apa yang harus dilakukan dari pagi hingga pulang kerja, apa yang harus diletakkan di rak, dan sebagainya. Tapi orang-orang memaksa Keiko untuk terlepas dari tempat kebahagiaannya itu.

Membahas konformitas sosial.

Sepengetahuanku, Jepang, negara asal penulis novel ini, merupakan negara yang sangat kolektif dan memiliki konformitas tinggi. Semua orang berusaha hidup sesuai dengan standar sosial yang ada. Keiko di sini, memiliki kehidupan yang tidak memenuhi standar itu. Ia tidak punya pekerjaan tetap dan tidak menikah maupun ketertarikan seksual. Semua orang memandangnya prihatin. Padahal Keiko merasa senang-senang saja dengan hidupnya itu.

Ada kutipan yang menarik mengenai hal ini.

“Menurutku ketika ada sesuatu yang merasa aneh, semua orang tanpa sungkan merasa berhak untuk ikut campur dan mereka berusaha untuk mengungkap alasannya.”

Perkataan Keiko ini, aku mungkin sedikit paham perasaannya. Walaupun aku tidak seberbeda itu kayak Keiko, tapi ada satu hal yang aku pernah rasakan. Aku pribadi belum pernah pacaran selama ini. Tapi bukannya aku tidak mau atau bagaimana, tapi ya mungkin memang belum nemu saja yang tepat. Karena menurutku buat apa memulai hubungan dengan sesorang yang kita gak benar-benar yakin dengannya?

Tapi sepertinya ada beberapa orang yang menganggap itu aneh dan mengganggu mereka. Gak semuanya ya, tapi ada beberapa temenku. Ketika aku bilang aku beberapa waktu belakangan sedang sering mengirim pesan dengan seseorang, walaupun sudah tidak lagi, mereka seakan merasa lega dan ternyata aku ini normal. Mereka bahkan bersemangat sekali mau mengenalkan aku dengan teman-teman prianya.

Mungkin aku gak merasa sekesal seperti Keiko mendengar komentar teman-temannya tentang ia yang tidak menikah. Tapi fenomena ini menurutku benar-benar nyata dan sangat dekat dengan kita. Semua orang merasa terganggu apabila ada orang lain yang tidak hidup sesuai standar sosial dan yang selama ini mereka pahami.

Aku gak mengatakan bahwa aku sendiri gak perah mengomentari orang lain. Tentu aja, aku pasti pernah. Kita semua pasti pernah menjadi orang-orang yang mengomentari kehidupan Keiko seperti dalam novel ini. Tapi ini bisa jadi bahan renungan untuk kita bersama sepertinya.

“Minimarket adalah tempat yang wajib dibuat normal. Hal asing harus segera dihilangkan.”

Menurutku, minimarket di sini bisa jadi seperti metafora dari dunia nyata kita. Minimarket memiliki panduan dan peraturan tersendiri yang semua pegawainya harus taati. Jika ada yang melanggar, harus dieliminasi. Semuanya harus seragam dan kompak. Tidak boleh ada yang berbeda. Begitu pula dengan dunia nyata.

“Dunia normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang.”

“Ternyata, buku panduan hidup memang sudah ada. Panduan itu menempel dalam pikiran semua orang dan tak dianggap perlu dituliskan. Sekarang aku paham bahwa bentuk ‘manusia normal’ tak pernah berbuah sejak Zaman Jomon.”

Konflik yang ringan dan bahasa yang mudah dipahami

Konflik dari cerita ini sebenarnya tidak ada. Tapi memnggambarkan kehidupan keseharian Keiko yang berusaha keras untuk membaur dengan masyarakat yang menganggapnya aneh. Ia mencari alasan ‘masuk akal’ agar tidak ditanyai lebih lanjut tentang kehidupannya, ia mengikuti cara fesyen teman pegawainya, bahkan cara mereka berbicara.

Bahasa yang digunakan penulis juga sederhana tapi tepat sasaran. Jadi siapapun dapat mudah memahaminya.

Cuma ada satu kekurangan. Menurutku, lebih menarik lagi kalau penulisnya dapat lebih lugas menjelaskan perasaan Keiko ataupun alur pemikirannya. Seperti ketika dalam percakapan, yang dituliskan kebanyakan hanya dialog yang ia ucapkan. Jadi seakan buku ini ‘kosong’ dari emosi Keiko. Tapi bisa jadi memang itu tujuan penulisnya. Seakan kita hidup sebagaimana Keiko yang kebas. Aku kurang tau gaya kepenulisan Sayaka Murata karena ini karya pertamanya yang aku baca.

Itu aja pemikiran aku tentang buku ini. Bukunya aku kasih 3.5/5! ⭐️ Walaupun engga kukasih 4 atau 5 tapi buku ini tetap sangat worth to read.

You should definitely read it too!

--

--

Alya Aqibta

avid fantasy reader and currently studying psychology.